Sampai saat ini masih banyak sekali orang atau pihak yang tetap meyakini bahwa hukum itu adalah sesuatu yang netral, adil dan bagus. Ketika ditanya soal keyakinannya itu, mereka memberikan banyak alasan. Salah satu alasan mereka; ”tidak mungkin pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya, mereka juga ingin rakyat maju !”. Sepintas, rasanya tidak ada yang salah dengan pemikiran seperti itu. Hanya saja menjadi sesuatu yang agak “naif” jika kita hubungkan dengan realita kehidupan masyarakat saat ini. Dimana-mana kita dengar dan saksikan bahwa banyak rumah masyarakat miskin digusur, peladang ditangkap dan dipenjarakan, tanah-tanah adat dicaplok untuk lahan kelapa sawit, hutan adat dibabat, sumber air dicaplok, orang berlainan keyakinan ditangkap, bahkan orang mau gembira laksanakan ritual budaya juga dibatasi. Ternyata setelah ditelusuri, semua kejadian tersebut dilakukan atas nama hukum dan kebijakan. Sebagai contoh adalah Surat Keputusan Walikota Pontianak No 127/2008 yang melarang atraksi naga dan barongsai di jalan umum saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh 2559. Terlepas dari pro kontra atas kebijakan tersebut, tetap saja tertangkap ada kepentingan dan unsur diskriminatifnya, atau setidak-tidaknya ada banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan pasca dikeluarkannya kebijakan itu. Jadi kalau begitu, sungguh fakta yang bertolak belakang dari persepsi orang tantang hukum yang adil, bagus, netral dan sebagainya.
Anggapan dan keyakinan orang tentang hukum memang berubah-rubah dari waktu kewaktu. Profesor Soetandyo Wignjosoebroto, seorang Gurubesar Emeritus pada universitas Airlangga dalam bukunya “Hukum Dalam Masyarakat”, 2007, menyebutkan bahwa berabad-abad lamanya orang percaya atau dibikin percaya bahwa hukum yang bekerja sebagai penertib kehidupan ini sesungguhnya merupakan bagian saja dari tertib semesta yang kodrati, yang tidak sekali-kali bersumber pada otoritas manusia yang mengenal kematian, melainkan dari kekuatan yang Ilahi. Sebagai tertib yang bersifat Ilahi, apa yang disebut sebagai God’s order atau yang dipahami sebagai “perintah Tuhan”, suatu keniscayaan yang tidak akan ada makhluk di dan dari manapun dapat mengingkarinya. Sehingga apapun yang dilakukan atas nama hukum, dianggap baik dan itulah hal yang tepat. Pendek kata, seperti ungkapan yang sering dikenal dalam dunia hukum: “hukum harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh”. Jadi jangankan hanya menggusur tanah orang kampung, langit runtuhpun sekalipun, hukum tetap harus ditegakkan dan dilaksanakan. Padahal kita semua jelas tahu bahwa langit tidak akan pernah runtuh. Jadi, kerpercayaan kita tentang hukum hanya utopis semata.
Cara pikir dan pandangan yang melihat hukum itu netral, adil, bagus, otonom, sebenarnya juga berkembang di dunia lain seperti di Amerika yang sering dikenal dengan pandangan hukum liberal. Pemikiran hukum liberal menganggap hukum itu adalah sesuatu yang netral (neutrality of law), sesuatu yang otonom (autonomy of law) dan hukum itu terpisah dari politik. Para penganut paham bahwa hukum adalah institusi otonom, eksis dengan karakter dan doktrinnya sendiri yang khas, disebut penganut paham positivisme, atau kaum legis. Mereka disebut kaum positivisme atau legis karena mereka hanya mau mengakui norma-norma yang telah dipositifkan sebagai undang-undangan (lege) sajalah yang berkualifikasi sebagai hukum. Undang-undang adalah satu-satu sumber hukum, yang secara formal haruslah selalu dirujuk dalam setiap proses penyelesaian perkara hukum. Penggunaan hukum tak tertulis pun baru dapat dilakukan apabila dapat merujuk ke izin yang diberikan undang-undang.
Doktrin hukum liberal dan paham positivisme ini ternyata berkembang ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Dalam kenyataannya, doktrin dan paham positivisme ini justru menjebak masyarakat. Masyarakat digiring untuk memikirkan hal-hal yang semu, utopis semata. Hukum dipahami sesuai dengan doktrin semata tanpa mau lebih jauh mengoreksi hal-hal substansial. Keadaan seperti ini menggugah sebagian sarjana hukum Indonesia melakukan kajian-kajian dan mencari alternative pemikiran hukum kedepan. Para ahli hukum Indonesia yang progresif ini adalah mereka yang tergabung dalam gerakan studi hukum kritis (Critical legal studies movement). Menurut para ahli hukum ini, paradigma positivisme telah gagal. Hukum Indonesia sudah kehilangan kemampuannya dalam menghadirkan keadilan. Hukum tidak mampu menjawab berbagai persoalan social dan politik yang terjadi di masyarakat. Para ahli hukum progresif ini melihat bahwa hukum adalah sebuah produk yang tidak netral karena disana selalu ada berbagai kepentingan-kepentingan tersembunyi di belakangnya. Paradigma positivisme menurut mereka hanya memberi justifikasi bagi posisi elite kaum yuris positivis. Paham dan pandangan yang menganggap hukum itu adalah sesuatu yang netral (neutrality of law), sesuatu yang otonom (autonomy of law) dan hukum itu terpisah dari politik hanya sebagai bentuk penghindaran terhadap adanya latar belakang politik dan kepentingan di balik putusan-putusan hakim dan perundanga-undangan.
Kritik gerakan Study Hukum kritis sangat beralasan. Kita bisa melihatnya dalam proses pembuatan sebuah produk hukum di Indonesia yang sangat sarat akan kepentingan politik mereka yang membuatnya. Yang membuat hukum di Indonesia jelas eksekutif dan legislatif. Siapa mereka? Sebagian besar dari mereka adalah orang partai politik dan pengusaha. Sebagai orang yang dititipkan partai jelas dalam membuat sebuah peraturan perundang-undangan ia akan mempertimbangkan kepentingan partainya. Sebagai seorang pengusaha juga ia akan mempertimbangkan kelangsungan usahanya. Lihat saja, bagaimana alotnya pembahasan Rancangan Undang-undang Pemilu. Terjadi pertentangan yang tajam antara partai besar dan partai kecil hanya soal sisa suara. Kemudian begitu juga halnya dengan pembahasan Undang-Undang sektoral seperti revisi undang-undang kehutanan yang sampai saat ini belum ada ujung pangkalnya disebabkan begitu besarnya tarik menarik kepentingan berbagai pihak. Jadi sangat mengherankan kalau ada orang atau pihak yang masih percaya dan bisa mengatakan bahwa Undang-undang Pemilu dan Undang-undang Kehutanan nanti tidak ada muatan kepentingan dibaliknya. Hukum yang menurut sebagian orang bisa menjadi tempat menemukan keadilan, justru kadang berposisi sebaliknya. Di masyarakat, hukum bisa dimanfaatkan untuk melegalkan perampokan terbuka terhadap tanah, hutan, tambang, air yang ada di wilayah masyarakat adat.
Kenyataan diatas dan kritik para ahli hukum terhadap paham liberal dan positivisme seharusnya bisa menyadarkan dan mengingat masyarakat untuk tidak terjebak dalam posisi justru memberikan justifikasi tindakan hukum para perampok hak seperti salah satunya cukong dan pengusaha besar. Sederhananya, dikarenakan para pengusaha itu memiliki izin maka “kita” lalu kita ramai-ramai mendukungnya. Padahal dalam izin itu menyebutkan bahwa tanah adat, hutan adat, kuburan, tempat keramat dan sebagainya masuk dalam konsesi perusahaan perkebunan. Masyarakat harus kritis melihat hukum dan selalu mau melakukan koreksi substantif jika ada tindakan yang berperisaikan hukum dan kebijakan. Tindakan ini penting karena HUKUM (undang-undang) tidak sama dengan keadilan (LEGAL ≠ JUSTICE). Oleh karena itu jangan sampai kita dikorbankan oleh hukum hanya karena kita tidak kritis terhadap hukum itu sendiri. Semoga!
Hukum Kritis
Diposting oleh Abdias di 01.07
0 Comments:
Post a Comment