Sejak mantan Presiden Suharto sakit, ada satu perdebatan menarik di dunia hukum Indonesia yakni mengenai adanya kemauan dari Pemerintah SBY yang terakhir katanya merespon usulan keluarga cendana untuk menyelesaikan kasus perdata mantan Presiden Suharto di luar pengadilan (out of court settlement). Alasan mereka agar tidak ada yang namanya kalah menang (win and loose). Terlepas dari pro-kontranya, pemikiran untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan menjadi menarik jika dihubungkan dengan penyelesaian kasus pelanggaran hak masyarakat adat.
Sekarang ini banyak sekali kasus-kasus konflik sumberdaya alam yang diselesaikan di pengadilan. Hasilnya selalu membuat kita tertegun dan geleng kepala. Masyarakat selalu kalah atau paling tidak masyarakat selalu dirugikan. Berangkat dari hal tersebut diatas, tulisan ini diawal, ingin melihat hal yang mendasari sehingga pengadilan atau perangkat hukum formal tidak pernah mampu menghadirkan keadilan bagi masyarakat adat. Baru diakhiri dengan pilihan penyelesaian kasus perampasan hak masyarakat adat ke depan.
Pada awal tahun 2007 yang lalu, Transparency International Indonesia menyampaikan hasil survei indeks korupsi 2006 yang menyebutkan aparat lembaga peradilan yang paling tinggi berinisiatif meminta suap kepada masyarakat (Media Indonesia, 28 Februari 2007). Walaupun hasil survei ini bisa dibantah karena hanya berkaitan dengan praktek semata, namun tetap saja mengindikasikan bahwa keadilan di lembaga ini bisa dibeli dengan uang suap. Orang yang banyak uanglah yang menang. Sehingga ada plesetan menarik di dunia peradilan yaitu KUHAP alias kasih uang habis perkara.
Kemudian, dalam memeriksa perkara, hakim hanya mempertimbangkan aspek yuridis formal, ketimbang menggali lebih jauh aspek-aspek materiil. Hal ini bisa terlihat ketika hakim dan jaksa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih ditujukan untuk merekonstruksi peristiwa, bukan untuk mengkonstruksi sebab-sebab dari peristiwa tersebut. Dengan pendekatan demikian, hakim gagal mengungkap hal-hal non prosedural yang mengitari dan melatari sengketa yang sedang diperiksa. Jadi yang dipertimbangkan hanya soal sah atau tidak sah, melanggar aturan atau tidak melanggar aturan, dan lain sebagainya. Pertimbangan aspek legalitas formal semata ini sangat merugikan masyarakat karena kasus-kasus yang menimpa masyarakat sesungguhnya adalah buah dari kebijakan pemerintah mengeluarkan izin. Jadi dari segi legalitas formal, jelas pengusaha dan pihak yang memiliki izin dan mendapat legalitas dari pemeritahlah yang benar dan memenangkan perkara/sengketa di pengadilan.
Lalu, apakah cara pikir yang hanya mempertimbangan aspek legalitas formal ini hanya ada pada polisi, jaksa dan hakim saja? Ternyata tidak. Dalam konteks yang lebih luas, banyak sekali pihak yang masih beraliran legalistik ini. Yang melihat suatu tindakan dari sah atau tidak sah berdasar hukum formal/negara. Bahkan ada juga ORNOP di Kalbar ini yang juga mengusung pemikiran tersebut dalam kerja-kerja di masyarakat. Hal ini bisa terlihat dengan istilah pemberantasan Illegal Logging, atau stiker yang bertuliskan: Legal Yes, Illegal No! Organisasi seperti ini tidak menyadari bahwa sesungguhnya cara pikir mereka telah memperkuat argument untuk meng-KRIMINALKAN masyarakat adat. Masyarakat adat yang memanfaatkan hak-hak adatnya atau berjuang mempertahankan hak-hak adatnya atas sumberdaya alam, karena tidak sesuai dengan aturan formal justru dilihat mereka sebagai pelaku tindak kriminal.
Di Kalimantan Barat, buah dari cara pikir kalangan legalis formalistik ini adalah kriminalisasi terhadap masyarakat adat seperti yang terjadi terhadap warga masyarakat di kampung Sungkup kecamatan Menukung Kabupaten Melawi. Masyarakat ditangkap hanya karena membuat ladang yang dianggap bisa merusak wilayah Taman nasional. Di kecamatan Silat Hulu Kabupaten Kapuas Hulu, warga masyarakat yang berjuang mempertahankan dan melestarikan hutan yang terancam rusak dan punah oleh PT. Karya Rekanan Bina Bersama, ditangkap bahkan disiksa oleh aparat kepolisian dengan tuduhan merusak fasilitas umum. Kasus lainnya adalah yang terjadi dengan warga kampung Entebang Desa Tapang semada Kabupaten sekadau, yang di vonis bersalah dengan tuduhan merusak pohon sawit. Padahal tindakan itu dipicu oleh tindakan perusahaan sawit yang mengusur dan menanam sawit di tanah miliknya.
Selain beberapa hal mendasar yang telah dikemukakan diatas, hal-hal umum yang memberatkan masyarakat untuk berperkara di pengadilan adalah waktu yang lama, jarak yang jauh dan biaya yang mahal. Kalau begitu, pengadilan memang bukan tempatnya bagi masyarakat adat untuk mencari keadilan. Pengadilan hanya jalan akhir, setelah upaya lainnya juga tidak bisa dilakukan. Pengadilan seringkali hanya menjadi perangkap bagi masyarakat adat. Di kalimantan barat polisi, jaksa dan hakim adalah tiga pihak yang telah terbukti berjasa memenjarakan masyarakat adat. Oleh karena itu kasus-kasus pelanggaran Hak-hak masyarakat adat akan lebih baik kalau di selesaikan di luar pengadilan.
Alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternatif dispute resolution) saat ini yang umunnya dikenal adalah Negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbiterase. Keempat bentuk penyelesaian sengketa diatas memang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya, namun masih dapat memberikan harapan yang cukup besar karena para pihak bisa menentukan pilihan yang dianggap cocok untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi (Joni Emirzon, jakarta 2001).
Sebagai masyarakat adat, penyelesaian kasus yang paling baik adalah menggunakan hukum adat.
Banyak kisah sukses yang bisa dijadikan patokan sehubungan dengan penggunaan hukum adat dalam penyelesaian kasus pelanggaran hak-hak adat masyarakat. Sebut saja yang dilakukan masyarakat adat Dayak Ut Danum di kampung Mentibar kecamatan Serawai Kabupaten Sintang Kalbar. Mereka menghukum adat PT. BKM karena menebang kayu di hutan adatnya. Kemudian masyarakat adat Dayak Limbai di kampung Bunyau kecamatan Menukung Kabupaten Melawi Kalbar berhasil menghukum adat PT. Maju Karya Kita. Begitu juga yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Limbai di Kampung Pelaik Keruap kecamatan Menukung Kabupaten Melawi Kalimantan Barat. Mereka menghukum adat PT. Sumber Gas Sakti Prima dan Dinas pertambangan Melawi karena melakukan survei tambang batu bara tidak sepengetahuan masyarakat adat setempat. Di tingkat propinsi, kepala dinas kehutanan Kalbar dihukum adat karena menuduh peladang sebagai penyebab asap pada tahun 1997. Bahkan pejabat stingkat menteripun Kemudian kepala BPS kalbar juga dihukum adat karena mempublikasikan data yang salah mengenai data orang Dayak di Kalimantan Barat. Keberhasilan masyarakat diatas mungkin akan beda ceritanya jika kasusnya diselesaikan di pengadilan.
Sehubungan dengan hal diatas, ada ungkapan masyur dari seorang konsultan bisnis terkenal, Welch (1992): “Control your destiny, or someone else will”. Tentukan sendiri nasibmu, atau orang lain akan menentukannya.
Sekarang ini banyak sekali kasus-kasus konflik sumberdaya alam yang diselesaikan di pengadilan. Hasilnya selalu membuat kita tertegun dan geleng kepala. Masyarakat selalu kalah atau paling tidak masyarakat selalu dirugikan. Berangkat dari hal tersebut diatas, tulisan ini diawal, ingin melihat hal yang mendasari sehingga pengadilan atau perangkat hukum formal tidak pernah mampu menghadirkan keadilan bagi masyarakat adat. Baru diakhiri dengan pilihan penyelesaian kasus perampasan hak masyarakat adat ke depan.
Pada awal tahun 2007 yang lalu, Transparency International Indonesia menyampaikan hasil survei indeks korupsi 2006 yang menyebutkan aparat lembaga peradilan yang paling tinggi berinisiatif meminta suap kepada masyarakat (Media Indonesia, 28 Februari 2007). Walaupun hasil survei ini bisa dibantah karena hanya berkaitan dengan praktek semata, namun tetap saja mengindikasikan bahwa keadilan di lembaga ini bisa dibeli dengan uang suap. Orang yang banyak uanglah yang menang. Sehingga ada plesetan menarik di dunia peradilan yaitu KUHAP alias kasih uang habis perkara.
Kemudian, dalam memeriksa perkara, hakim hanya mempertimbangkan aspek yuridis formal, ketimbang menggali lebih jauh aspek-aspek materiil. Hal ini bisa terlihat ketika hakim dan jaksa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih ditujukan untuk merekonstruksi peristiwa, bukan untuk mengkonstruksi sebab-sebab dari peristiwa tersebut. Dengan pendekatan demikian, hakim gagal mengungkap hal-hal non prosedural yang mengitari dan melatari sengketa yang sedang diperiksa. Jadi yang dipertimbangkan hanya soal sah atau tidak sah, melanggar aturan atau tidak melanggar aturan, dan lain sebagainya. Pertimbangan aspek legalitas formal semata ini sangat merugikan masyarakat karena kasus-kasus yang menimpa masyarakat sesungguhnya adalah buah dari kebijakan pemerintah mengeluarkan izin. Jadi dari segi legalitas formal, jelas pengusaha dan pihak yang memiliki izin dan mendapat legalitas dari pemeritahlah yang benar dan memenangkan perkara/sengketa di pengadilan.
Lalu, apakah cara pikir yang hanya mempertimbangan aspek legalitas formal ini hanya ada pada polisi, jaksa dan hakim saja? Ternyata tidak. Dalam konteks yang lebih luas, banyak sekali pihak yang masih beraliran legalistik ini. Yang melihat suatu tindakan dari sah atau tidak sah berdasar hukum formal/negara. Bahkan ada juga ORNOP di Kalbar ini yang juga mengusung pemikiran tersebut dalam kerja-kerja di masyarakat. Hal ini bisa terlihat dengan istilah pemberantasan Illegal Logging, atau stiker yang bertuliskan: Legal Yes, Illegal No! Organisasi seperti ini tidak menyadari bahwa sesungguhnya cara pikir mereka telah memperkuat argument untuk meng-KRIMINALKAN masyarakat adat. Masyarakat adat yang memanfaatkan hak-hak adatnya atau berjuang mempertahankan hak-hak adatnya atas sumberdaya alam, karena tidak sesuai dengan aturan formal justru dilihat mereka sebagai pelaku tindak kriminal.
Di Kalimantan Barat, buah dari cara pikir kalangan legalis formalistik ini adalah kriminalisasi terhadap masyarakat adat seperti yang terjadi terhadap warga masyarakat di kampung Sungkup kecamatan Menukung Kabupaten Melawi. Masyarakat ditangkap hanya karena membuat ladang yang dianggap bisa merusak wilayah Taman nasional. Di kecamatan Silat Hulu Kabupaten Kapuas Hulu, warga masyarakat yang berjuang mempertahankan dan melestarikan hutan yang terancam rusak dan punah oleh PT. Karya Rekanan Bina Bersama, ditangkap bahkan disiksa oleh aparat kepolisian dengan tuduhan merusak fasilitas umum. Kasus lainnya adalah yang terjadi dengan warga kampung Entebang Desa Tapang semada Kabupaten sekadau, yang di vonis bersalah dengan tuduhan merusak pohon sawit. Padahal tindakan itu dipicu oleh tindakan perusahaan sawit yang mengusur dan menanam sawit di tanah miliknya.
Selain beberapa hal mendasar yang telah dikemukakan diatas, hal-hal umum yang memberatkan masyarakat untuk berperkara di pengadilan adalah waktu yang lama, jarak yang jauh dan biaya yang mahal. Kalau begitu, pengadilan memang bukan tempatnya bagi masyarakat adat untuk mencari keadilan. Pengadilan hanya jalan akhir, setelah upaya lainnya juga tidak bisa dilakukan. Pengadilan seringkali hanya menjadi perangkap bagi masyarakat adat. Di kalimantan barat polisi, jaksa dan hakim adalah tiga pihak yang telah terbukti berjasa memenjarakan masyarakat adat. Oleh karena itu kasus-kasus pelanggaran Hak-hak masyarakat adat akan lebih baik kalau di selesaikan di luar pengadilan.
Alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternatif dispute resolution) saat ini yang umunnya dikenal adalah Negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbiterase. Keempat bentuk penyelesaian sengketa diatas memang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya, namun masih dapat memberikan harapan yang cukup besar karena para pihak bisa menentukan pilihan yang dianggap cocok untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi (Joni Emirzon, jakarta 2001).
Sebagai masyarakat adat, penyelesaian kasus yang paling baik adalah menggunakan hukum adat.
Banyak kisah sukses yang bisa dijadikan patokan sehubungan dengan penggunaan hukum adat dalam penyelesaian kasus pelanggaran hak-hak adat masyarakat. Sebut saja yang dilakukan masyarakat adat Dayak Ut Danum di kampung Mentibar kecamatan Serawai Kabupaten Sintang Kalbar. Mereka menghukum adat PT. BKM karena menebang kayu di hutan adatnya. Kemudian masyarakat adat Dayak Limbai di kampung Bunyau kecamatan Menukung Kabupaten Melawi Kalbar berhasil menghukum adat PT. Maju Karya Kita. Begitu juga yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Limbai di Kampung Pelaik Keruap kecamatan Menukung Kabupaten Melawi Kalimantan Barat. Mereka menghukum adat PT. Sumber Gas Sakti Prima dan Dinas pertambangan Melawi karena melakukan survei tambang batu bara tidak sepengetahuan masyarakat adat setempat. Di tingkat propinsi, kepala dinas kehutanan Kalbar dihukum adat karena menuduh peladang sebagai penyebab asap pada tahun 1997. Bahkan pejabat stingkat menteripun Kemudian kepala BPS kalbar juga dihukum adat karena mempublikasikan data yang salah mengenai data orang Dayak di Kalimantan Barat. Keberhasilan masyarakat diatas mungkin akan beda ceritanya jika kasusnya diselesaikan di pengadilan.
Sehubungan dengan hal diatas, ada ungkapan masyur dari seorang konsultan bisnis terkenal, Welch (1992): “Control your destiny, or someone else will”. Tentukan sendiri nasibmu, atau orang lain akan menentukannya.
1 Comment:
Aww.mampir, pak. blognya inspiratif....lanjutkan ya, pak :)
Post a Comment