Aktivitas dalam gambar
















Jumat, 18 Juli 2008

Buku tentang Sistem Peradilan Adat Dayak

Hal-hal yang dimuat dalam buku ini mencakup; Gambaran Suku, Kelembagaan Adat, Mekanisme Penyelesaian Perkara Adat dan Sanksi Adat.

Gambaran suku mencakup nama suku, bahasanya, asal suku, tempat menetapnya sekarang, perpindahan, alasan perpindahan, proses perpindahan, penyebaran suku, jumlah penduduknya, cara pengelolaan wilayah adatnya, dan hubungan dengan suku-suku tetangganya.

Kelembagaan mencakup Lembaga/organisasi apa saja yang ada di suku ini, struktur masing-masing lembaga tersebut, peran (tugas) dan kewenangan masing-masing lembaga tersebut, peran dan kewenangan pada setiap tingkatan dan wilayah pada masing-masing lembaga tersebut, syarat untuk menjadi pejabat masing–masing dalam struktur kelembagaan adat, lama masa jabatannya, upacara pengukuhannya dan cara pemberhentiannya.

Mekanisme Penyelesaian perkara mencakup kewenangan dalam menyelesaikan perkara, pihak-pihak yang ikut hadir dalam penyelesaian perkara adat, tahapan/proses dalam perkara adat, Jenis-jenis perkara adat, alat-alat/ benda-benda dalam perkara adat dan maknanya.
Sedangkan sanksi adat meliputi prinsip/nilai-nilai/pertimbangan yang dipegang dalam menjatuhkan hukuman/sanksi adat, bentuk-bentuk hukuman/sanksi adat yang pernah ada dan masih berlaku, bentuk hukuman/sanksi adat yang pernah ada dan tidak berlaku lagi, jenis-jenis hukuman/sanksi adat, dan penerapan hukuman/sanksi adatnya.

Minggu, 13 Juli 2008

Taman Nasional “Mentamankan” Warga Sungkup.

Taman Nasional saat ini telah menjadi sesuatu yang menakutkan, bahkan membahayakan kehidupan masyarakat. Malapetaka karena Taman Nasional terjadi di kampung Sungkup kecamatan Menukung Kabupaten Melawi Kalimantan Barat. Setelah sekian lama hutannya dijarah, tanahnya dirampas oleh perusahaan HPH dan HTI, kini mereka juga harus kehilangan hak atas hutannya oleh Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Taman Nasional yang merupakan barang baru, bisa menggusur masyarakat yang sudah mendiami daerah itu turun temurun jauh sebelum Negara ini ada.

Dua warga kampung Sungkup menjadi korban. mereka diputuskan bersalah oleh pengadilan Negeri Sintang dan dihukum 7 bulan kurungan dan denda 50 jt rupiah.




Masalah mulai terjadi sejak pemerintah secara sepihak menetapkan hutan adat Ketemenggungan Siyai menjadi wilayah Taman Nasional pada tahun 1992. Masyarakat sekitar yang tidak terlalu paham dengan Taman Nasional, pada awalnya mengira Taman Nasional tidak akan merampas hak adat mereka. Sehingga mereka tidak membuat reaksi apapun. Apalagi informasi dari pihak Taman Nasional juga mengatakan bahwa Taman Nasional tidak membatasi akses masyarakat terhdap hutannya. Namun setelah berlangsung beberapa tahun, apalagi setelah adanya larangan dan pembatasan akses warga terhadap hutan, baru warga sadar bahwa ternyata Taman Nasional telah merampas hutan mereka. Masyarakat dilarang memanfaatkan hutan untuk meramu, berburu dan membuat ladang. Hal ini jelas tidak bisa diterima masyarakat.

Terjadinya pertentangan antara masyarakat dan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya kemudian direspon dengan melakukan antisipasi terhadap kelestarian Taman nasional dengan cara membuat dan memperjelas batas antara Taman Nasional dan Hutan Adat masyarakat. Maka dilakukanlah pemetaan partisipatif yaitu pemetaan yang melibat masyarakat setempat tahun 1998.

Peta partisipatif tahun 1998 merupakan dasar pijakan bagi semua pihak dalam melihat keberadaan Taman Nasional BBBR dan wilayah adat masyarakat. Bagi masyarakat, peta tahun 1998 adalah patokan yang menunjukan batas antara Taman Nasional dan Wilayah Adat (Hutan Adat) mereka. Namun Taman Nasional secara sepihak kemudian merubah batas-batas Taman Nasional. Taman Nasional ternyata tidak berpatok pada peta partisipatif tahun 1998 tersebut. Hal ini terlihat dari tindakan Taman Nasional memasang patok-patok di kilometer 28 yang ternyata area persawahan masyarakat belaban sungkup. Kemudian menurut informasi dari pihak Taman Nasional ketika dialog di Polres Malawi 16 September 2007, memang benar bahwa Taman Nasional telah mengeluarkan peta baru yang memindahkan batas sampai ke kilometer 28. Tindakan Taman Nasional memindahkan batas secara sepihak ini yang kemudian memicu masalah.

Walaupun Taman Nasional telah membuat patok-patok, tapi diabaikan saja oleh masyarakat. Masyarakat adat yang patuh dengan peta 1998, tetap melakukan aktivitasnya di wilayah adatnya seperti biasa yaitu meramu dan membuat ladang. Namun Taman Nasional dengan mendasari pada peta yang dibuatnya secara sepihak kemudian menganggap perbuatan masyarakat membuat ladang adalah pelanggaran.

Puncak peristiwa

Puncak konflik antara masyarakat dan Taman Nasional terjadi ketika Pak Manan, Pak Toroh, Pak Pori, Ibu Ocik dan Ibu Tiran membuka ladang di pinggiran sungai Ella yang merupakan kawasan hutan Adat mereka. Oleh pihak Taman Nasional, mereka dilaporkan kepada polisi dengan tuduhan merusak lingkungan Taman Nasional. Laporan pihak Taman Nasional tersebut ditindaklanjuti oleh Polisi. Pada tanggal 15 agustus polisi mengecek tempat berladang masyarakat tersebut. Kemudian polisi datang lagi pada tanggal 16 Agustus bersama dengan pihak Taman Nasional. Mereka yang datang dua orang berpakaian preman, 4 orang berpakaian dinas. Polisi datang lengkap dengan senjatanya. Mereka mengaku mau menjemput pak Manan dan pak Toro, namun masyarakat tidak melepaskan pak Manan dan pak Toro. Merasa tidak berhasil menjemput pak Manan dan pak Toroh, polisi dan beberapa orang Taman Nasional menyuruh pak Toro dan pak Manan membuat surat pernyataan agar tidak membakar ladangnya, lalu pulang. Mereka juga menyatakan bahwa harus dilakukan pertemuan di Sungkup dengan menghadirkan pihak kecamatan menukung. Masyarakat menyetujui dan mendukung rencana tersebut. Namun ternyata sebelum pertemuan yang direncanakan pada tanggal 30 agustus terealisasi, pada tanggal 25 Agustus 2007 polisi datang ke km 39 (pondok pak Manan dan pak Toroh) membawa surat penangkapan atas nama pak Manan dan Pak Toro. Surat penangkapan hanya ditunjukan saja. Sebelum membawa pak Toro, Manurung (polisi kepala PAM 35 Pt SBK) mengatakan bahwa pak Toroh hanya dibawa ke kantor kades Siyai. Namun ternyata pak Toroh bukan dibawa ke kantor Kades Siyai tapi langsung ke Nanga Pinoh dan ditahan. Surat penangkapan baru diserahkan kepada keluarga pak toro 5 hari setelahnya.

Setelah ditangkapnya pak Toroh, dilakukanlah pertemuan tanggal 30 agustus yang dihadiri wakil camat, wakil kapolsek, wakil Danramil kecamatan Menukung, Polisi Pamong Praja, dan staf kecamatan. Dalam pertemuan ini justru pihak Taman Nasional yang tidak hadir, padahal mereka yang mengusulkan pertemuan tersebut. Karena pihak Taman Nasional tidak hadir, maka pertemuan tidak menghasilkan sesuatu. Karena tidak menghasilkan sesuatu, maka Kades Siyai dan salah seorang warga Desa Siyai diutus untuk menghadap DPRD dan Bupati kabupaten Melawi di Nanga Pinoh. Namun oleg Camat Menukung dua orang utusan ini dicegah untuk tidak menghadap DPRD dan Bupati. Camat berjanji untuk memfasilitasi pertemuan dengan pihak Taman Nasional. Maka disepakatilah akan melakukan pertemuan tanggal 4 September 2007. Maka pada tanggal 4 september 2007 dilakukanlah pertemuan di kecamatan Menukung. Hadir dalam pertemuan ini masyarakat Desa Siyai, Camat, wakil Polsek, wakil Danramil dan pihak Taman Nasional. Dalam pertemuan ini masyarakat minta penjelasan mengenai tapal batas Taman Nasional dengan wilayah adat, dan batas dengan SBK. Namun pihakTaman Nasional yang diwakili Edi tidak berani memberikan keputusan sebelum berkonsultasi dengan pimpinannya aitu Erwin. Masyarakat juga sempat menanyakan nasib pak Toroh yang ditangkap polisi pada tanggal 25 Agustus, namun Edi mengatakan bahwa informasinya setelah 21 hari lagi.

Tgl 9 September 07, pak Manan, Ijus (kadus Belaban) dan Pori, turun ke Pinoh dalam rangka memenuhi panggilan ke-2 Polres Melawi sebagai saksi. Karena pak Manan sakit, maka yang menghadap ke Polres hanya kepala dusun Belaban dan Pori. Setelah memberi keterangan di Polres, pak dusun dibolehkan keluar tapi pak Pori langsung masuk ke tahanan. Dengan ditahankannya pak Pori, bearti sudah dua orang yang ditahan.

Tuntutan Masyarakat Ketemenggungan Siyai

Masyarakat Ketemenggungan Siyai merasa bahwa pihak Taman Nasional dan Kepolisian bertindak sewenang-wenang. Menangkap masyarakat yang membuat ladang sungguh merupakan tindakan pelecehan karena membuat ladang merupakan salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup serta merupakan tradisi yang diturunkan secara turun temurun. Mengkap masyarakat yang membuat ladang sama halnya membunuh secara perlahan masyarakat. Dengan membubuhkan tanda tangan dan cap jempol, masyarakat kemudian memuat surat tuntutan yang ditujukan kepada Taman Nasional selaku pelapor dan Polres Melawi yang melakukan eksekusi (penangkapan). Adapun tuntutan mereka adalah sebagai berikut:

1. Menuntut Polres untuk membebaskan warga masyarakat yang ditahan dan menyerahkan proses nya kepada aturan adat/hukum adat setempat;
2. Menuntut Taman Nasional untuk mencabut laporannya terhadap warga masyarakat Dayak Limbai Ketemenggungan Siyai
3. Menjatuhkan kepada Taman Nasional dan Polres Melawi hukum adat KesupanAdat, Kesupan Masyarakat, Kesupan temenggung dan Kesupan Pengurus Kampung. Kemudian mereka juga menjatuhkan kepada yang sama hukum adat Perusak nama baik Temenggung dan Masyarakat.
4. Menjatuhkan kepada Taman Nasional Hukum Adat Perampasan Hak, karena Taman Nasional telah mengklaim Hutan Adat Masyarakat Ketemenggungan Siyai secara sepihak sebagai Wilayah Taman Nasional.

Surat tuntutan tersebut dibawa dan disampaikan langsung oleh tokoh-tokoh adat dan pengurus kampung beserta masyarakat pada tanggal 19 September 2007 ke Taman Nasional dan Polres kabupaten Melawi. Walaupun ketika tuntutan disampaikan, Polres dan Taman Nasional tidak mau dihukum adat dengan dalih bahwa mereka tunduk kepada hukum Formal, bagi masyarakat adalah yang terpenting Taman Nasional dan Polisi tahu bahwa tindakan dan perbuatan mereka telah melanggar aturan adat masyarakat. Masyarakat menyadari bahwa di Polres dan Taman Nasional mereka diabaikan, tapi mereka akan menegakan hukum adat ketika Taman Nasional masuk ke wilayah mereka, karena wilayah Taman Nasinaol sesungguhnya berada di dalam kekuasaan dan naungan hukum adat masyarakat.

Bukti Sejarah Kepemilikan Hutan Masyarakat
Hutan yang sekarang diklaim Taman Nasional adalah hak masyarakat ketemenggungan Siyai. Dari segi sejarah, jelas bahwa terdapat tanda-tanda sejarah yang menunjukan kepemilikan masyarakat atas kawasan tersebut yaitu Batu Betanam. Menurut ceritanya, dulu telah terjadi pertumpahan darah saat proses penguasaan wilayah adat yang diklaim Taman Nasional sekarang. Karena menang dalam pertempuran itu, maka masyarakat ketemenggungan Siyailah yang menguasai dan memiliki hak atas hutan dan wilayah adat tersebut. Tempat peristiwa pertumpahan darah tersebut masih ada sekarang ini.




(abdias)

Melukiskan kembali NMCP XI

inilah seluruh peserta NMCP XI.... Roni Papua, Aan komandan, Hospie aceh, Dias dayak, Saiful soleh, Paulus pendamai, Inggrid muka teduh, Mila bersemangat, Hana menggemaskan, Umar yg tenang-tenang saja, Jomi imut, yayak sahabat sekamar, Sony gagal target, Oi senyum dikulum, Teti guru Yoga, Tia ahli bahasa, Fani penggirang, mardianti bersahaja, Dewi funding, desi rawat jalan, Joko pengamat, Siti Soleha ternyata bisa lucu juga, Armen teman wawancara, Enal temanku bercanda, Rhoni pendeta, dan Josua jarang tertawa. o..ya, Muklis dan Dadih di manaaa...


Santai disela-sela acara. Mas Saif, Joko, Hanna, Enal, Teti, Yayak, Dias, Soni dan Muklis
Nah, ini sepulang dari acara. mampir di HuMa, muka tetap ceria. sorenya terdampar di terminal busway selama 2 jam.


NGO Management Certificate Program (NMCP) XI 23 Juni-6 Juli 2008 di wisma Makara UI yang diselenggarakan oleh pacivis UI merupakan sebuah acara yang sangat bermanfaat bagi kemandirian NGO. Peserta diberikan materi mengenal NGO, management NGO, perencanaan strategis, management sumberdaya, perencanaan anggaran, jaringan kerja, teknik dan strategi advokasi, sampai strategi penggalangan dana untuk keberlanjutan organisasi. Di acara ini pula, peserta bertemu dan berdiskusi dengan Narasumber yang hebat, Dr. Imam B. Prasodjo, Yosep Adi Pasetyo, Y. Dian Indraswari, Lili Hasanuddin, Riza Primahendra, Pahala Nainggolan, Anung Karyadi, Theresia Joyce Damayanti, Paul Rowland, Ika, Miranti Maruto, Ilmi Suminar. pelajaran penting juga diperoleh karena kehebatan Panita mengelola acara ini. Salut bagi Mbak Dian, Ilmi, mas Raymond dan rekan-rekannya. Terakhir, bertemu dengan sesama peserta dari organisasi yang beragam, punya pengalaman banyak merupakan sesuatu yang sangat berharga. bukan hanya itu, 15 hari hidup bersama tentulah menyisakan kenangan indah...he..he.
Pendek kata, bagiku NMCP XI sangat mengesankan!











Ngobrol tentang Penyakit

secara tak sengaja aku ngobrol ringan sama seorang bapak yang baru datang dari kampung. bapak itu bilang kalau dirinya sudah lama terkena penyakit PDIP. saya bingung mendengar jenis penyakit yang menyerang bapak itu. "penyakit apa itu pak?" tanyaku. bapak itu lalu tersenyum lalu bilang. itu....tu..penyakit "penurunan daya ingat alias pelupa". jawabnya. saya pun manggut-manggut. rupanya....ketika berangkat ke pontianak, ada barang yang ketinggalan yang seharusnya ia bawa untuk anaknya....

sebelum pergi kerumah anak, bapak itu bilang dengan saya. Penyakit PDIP itu bisa menyerang siapa saja, pejabat dan orang-orang kaya sekalipun....

setelah sepekan berlalu.......aku jadi kembali memikirkan penyakit ini. Ternyata benar juga, sekarang penyakit PENURUNAN DAYA INGAT alias PELUPA sudah menjangkiti para pejabat, bahkan sudah lama dan sedemikian parah.

OYA..YA....ternyata para politisi, birokrat, eksekutif, legislatif,.......sekarang ini sudah LUPA dengan JANJInya saat kampanye dulu....

PENGUASA NEGARA INI SUDAH LUPA DENGAN RAKYATNYA!!!!!!!!
faktanya:
1. Peraturan perundang-undangan yang ragu (ambiqu) mengakui keberadaan masyarakat adat
2. tanah, hutan, air, tambang dll di kelola seenaknya tanpa mau tau telah ada pemiliknya yaitu masyarakat adat yang hidup turun temurun
3. kriminalisasi masyarakat adat....

Kamis, 24 April 2008

Kerusakan lingkungan

Gambar di samping ini memperlihatkan bahwa memang benar telah terjadi dan terus akan terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dan tindakan itu dilakukan oleh perusahaan yang telah diberikan izin oleh negara ini. "Wanasokan Hasilindo" sebuah perusahaan kayu yang beroperasi di kabupaten Ketapang Kalbar, namun secara sembunyi telah menyeberang ke kabupaten Melawi dan mencuri kayu di hutan adat milik masyarakat kampung Ganjang kecamatan Tanah Pinoh Kota Baru.
Nah,....mudah-mudahan dengan gambar ini kita semua paham dan sadar bahwa selama ini kita ditipu dengan gencarnya pemberantasn illegal logging. Ternyata kerusakan lingkungan lebih banyak disebabkan oleh perusahaan pemiliki izin yang "LEGAL" itu. ha..ha...ha..!!!!

Rabu, 23 April 2008

Hukum Kritis

Sampai saat ini masih banyak sekali orang atau pihak yang tetap meyakini bahwa hukum itu adalah sesuatu yang netral, adil dan bagus. Ketika ditanya soal keyakinannya itu, mereka memberikan banyak alasan. Salah satu alasan mereka; ”tidak mungkin pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya, mereka juga ingin rakyat maju !”. Sepintas, rasanya tidak ada yang salah dengan pemikiran seperti itu. Hanya saja menjadi sesuatu yang agak “naif” jika kita hubungkan dengan realita kehidupan masyarakat saat ini. Dimana-mana kita dengar dan saksikan bahwa banyak rumah masyarakat miskin digusur, peladang ditangkap dan dipenjarakan, tanah-tanah adat dicaplok untuk lahan kelapa sawit, hutan adat dibabat, sumber air dicaplok, orang berlainan keyakinan ditangkap, bahkan orang mau gembira laksanakan ritual budaya juga dibatasi. Ternyata setelah ditelusuri, semua kejadian tersebut dilakukan atas nama hukum dan kebijakan. Sebagai contoh adalah Surat Keputusan Walikota Pontianak No 127/2008 yang melarang atraksi naga dan barongsai di jalan umum saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh 2559. Terlepas dari pro kontra atas kebijakan tersebut, tetap saja tertangkap ada kepentingan dan unsur diskriminatifnya, atau setidak-tidaknya ada banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan pasca dikeluarkannya kebijakan itu. Jadi kalau begitu, sungguh fakta yang bertolak belakang dari persepsi orang tantang hukum yang adil, bagus, netral dan sebagainya.

Anggapan dan keyakinan orang tentang hukum memang berubah-rubah dari waktu kewaktu. Profesor Soetandyo Wignjosoebroto, seorang Gurubesar Emeritus pada universitas Airlangga dalam bukunya “Hukum Dalam Masyarakat”, 2007, menyebutkan bahwa berabad-abad lamanya orang percaya atau dibikin percaya bahwa hukum yang bekerja sebagai penertib kehidupan ini sesungguhnya merupakan bagian saja dari tertib semesta yang kodrati, yang tidak sekali-kali bersumber pada otoritas manusia yang mengenal kematian, melainkan dari kekuatan yang Ilahi. Sebagai tertib yang bersifat Ilahi, apa yang disebut sebagai God’s order atau yang dipahami sebagai “perintah Tuhan”, suatu keniscayaan yang tidak akan ada makhluk di dan dari manapun dapat mengingkarinya. Sehingga apapun yang dilakukan atas nama hukum, dianggap baik dan itulah hal yang tepat. Pendek kata, seperti ungkapan yang sering dikenal dalam dunia hukum: “hukum harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh”. Jadi jangankan hanya menggusur tanah orang kampung, langit runtuhpun sekalipun, hukum tetap harus ditegakkan dan dilaksanakan. Padahal kita semua jelas tahu bahwa langit tidak akan pernah runtuh. Jadi, kerpercayaan kita tentang hukum hanya utopis semata.

Cara pikir dan pandangan yang melihat hukum itu netral, adil, bagus, otonom, sebenarnya juga berkembang di dunia lain seperti di Amerika yang sering dikenal dengan pandangan hukum liberal. Pemikiran hukum liberal menganggap hukum itu adalah sesuatu yang netral (neutrality of law), sesuatu yang otonom (autonomy of law) dan hukum itu terpisah dari politik. Para penganut paham bahwa hukum adalah institusi otonom, eksis dengan karakter dan doktrinnya sendiri yang khas, disebut penganut paham positivisme, atau kaum legis. Mereka disebut kaum positivisme atau legis karena mereka hanya mau mengakui norma-norma yang telah dipositifkan sebagai undang-undangan (lege) sajalah yang berkualifikasi sebagai hukum. Undang-undang adalah satu-satu sumber hukum, yang secara formal haruslah selalu dirujuk dalam setiap proses penyelesaian perkara hukum. Penggunaan hukum tak tertulis pun baru dapat dilakukan apabila dapat merujuk ke izin yang diberikan undang-undang.

Doktrin hukum liberal dan paham positivisme ini ternyata berkembang ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Dalam kenyataannya, doktrin dan paham positivisme ini justru menjebak masyarakat. Masyarakat digiring untuk memikirkan hal-hal yang semu, utopis semata. Hukum dipahami sesuai dengan doktrin semata tanpa mau lebih jauh mengoreksi hal-hal substansial. Keadaan seperti ini menggugah sebagian sarjana hukum Indonesia melakukan kajian-kajian dan mencari alternative pemikiran hukum kedepan. Para ahli hukum Indonesia yang progresif ini adalah mereka yang tergabung dalam gerakan studi hukum kritis (Critical legal studies movement). Menurut para ahli hukum ini, paradigma positivisme telah gagal. Hukum Indonesia sudah kehilangan kemampuannya dalam menghadirkan keadilan. Hukum tidak mampu menjawab berbagai persoalan social dan politik yang terjadi di masyarakat. Para ahli hukum progresif ini melihat bahwa hukum adalah sebuah produk yang tidak netral karena disana selalu ada berbagai kepentingan-kepentingan tersembunyi di belakangnya. Paradigma positivisme menurut mereka hanya memberi justifikasi bagi posisi elite kaum yuris positivis. Paham dan pandangan yang menganggap hukum itu adalah sesuatu yang netral (neutrality of law), sesuatu yang otonom (autonomy of law) dan hukum itu terpisah dari politik hanya sebagai bentuk penghindaran terhadap adanya latar belakang politik dan kepentingan di balik putusan-putusan hakim dan perundanga-undangan.

Kritik gerakan Study Hukum kritis sangat beralasan. Kita bisa melihatnya dalam proses pembuatan sebuah produk hukum di Indonesia yang sangat sarat akan kepentingan politik mereka yang membuatnya. Yang membuat hukum di Indonesia jelas eksekutif dan legislatif. Siapa mereka? Sebagian besar dari mereka adalah orang partai politik dan pengusaha. Sebagai orang yang dititipkan partai jelas dalam membuat sebuah peraturan perundang-undangan ia akan mempertimbangkan kepentingan partainya. Sebagai seorang pengusaha juga ia akan mempertimbangkan kelangsungan usahanya. Lihat saja, bagaimana alotnya pembahasan Rancangan Undang-undang Pemilu. Terjadi pertentangan yang tajam antara partai besar dan partai kecil hanya soal sisa suara. Kemudian begitu juga halnya dengan pembahasan Undang-Undang sektoral seperti revisi undang-undang kehutanan yang sampai saat ini belum ada ujung pangkalnya disebabkan begitu besarnya tarik menarik kepentingan berbagai pihak. Jadi sangat mengherankan kalau ada orang atau pihak yang masih percaya dan bisa mengatakan bahwa Undang-undang Pemilu dan Undang-undang Kehutanan nanti tidak ada muatan kepentingan dibaliknya. Hukum yang menurut sebagian orang bisa menjadi tempat menemukan keadilan, justru kadang berposisi sebaliknya. Di masyarakat, hukum bisa dimanfaatkan untuk melegalkan perampokan terbuka terhadap tanah, hutan, tambang, air yang ada di wilayah masyarakat adat.

Kenyataan diatas dan kritik para ahli hukum terhadap paham liberal dan positivisme seharusnya bisa menyadarkan dan mengingat masyarakat untuk tidak terjebak dalam posisi justru memberikan justifikasi tindakan hukum para perampok hak seperti salah satunya cukong dan pengusaha besar. Sederhananya, dikarenakan para pengusaha itu memiliki izin maka “kita” lalu kita ramai-ramai mendukungnya. Padahal dalam izin itu menyebutkan bahwa tanah adat, hutan adat, kuburan, tempat keramat dan sebagainya masuk dalam konsesi perusahaan perkebunan. Masyarakat harus kritis melihat hukum dan selalu mau melakukan koreksi substantif jika ada tindakan yang berperisaikan hukum dan kebijakan. Tindakan ini penting karena HUKUM (undang-undang) tidak sama dengan keadilan (LEGAL ≠ JUSTICE). Oleh karena itu jangan sampai kita dikorbankan oleh hukum hanya karena kita tidak kritis terhadap hukum itu sendiri. Semoga!

Selasa, 22 April 2008

Pengadilan Vs Hak Masyarakat adat.


Sejak mantan Presiden Suharto sakit, ada satu perdebatan menarik di dunia hukum Indonesia yakni mengenai adanya kemauan dari Pemerintah SBY yang terakhir katanya merespon usulan keluarga cendana untuk menyelesaikan kasus perdata mantan Presiden Suharto di luar pengadilan (out of court settlement). Alasan mereka agar tidak ada yang namanya kalah menang (win and loose). Terlepas dari pro-kontranya, pemikiran untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan menjadi menarik jika dihubungkan dengan penyelesaian kasus pelanggaran hak masyarakat adat.

Sekarang ini banyak sekali kasus-kasus konflik sumberdaya alam yang diselesaikan di pengadilan. Hasilnya selalu membuat kita tertegun dan geleng kepala. Masyarakat selalu kalah atau paling tidak masyarakat selalu dirugikan. Berangkat dari hal tersebut diatas, tulisan ini diawal, ingin melihat hal yang mendasari sehingga pengadilan atau perangkat hukum formal tidak pernah mampu menghadirkan keadilan bagi masyarakat adat. Baru diakhiri dengan pilihan penyelesaian kasus perampasan hak masyarakat adat ke depan.

Pada awal tahun 2007 yang lalu, Transparency International Indonesia menyampaikan hasil survei indeks korupsi 2006 yang menyebutkan aparat lembaga peradilan yang paling tinggi berinisiatif meminta suap kepada masyarakat (Media Indonesia, 28 Februari 2007). Walaupun hasil survei ini bisa dibantah karena hanya berkaitan dengan praktek semata, namun tetap saja mengindikasikan bahwa keadilan di lembaga ini bisa dibeli dengan uang suap. Orang yang banyak uanglah yang menang. Sehingga ada plesetan menarik di dunia peradilan yaitu KUHAP alias kasih uang habis perkara.

Kemudian, dalam memeriksa perkara, hakim hanya mempertimbangkan aspek yuridis formal, ketimbang menggali lebih jauh aspek-aspek materiil. Hal ini bisa terlihat ketika hakim dan jaksa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih ditujukan untuk merekonstruksi peristiwa, bukan untuk mengkonstruksi sebab-sebab dari peristiwa tersebut. Dengan pendekatan demikian, hakim gagal mengungkap hal-hal non prosedural yang mengitari dan melatari sengketa yang sedang diperiksa. Jadi yang dipertimbangkan hanya soal sah atau tidak sah, melanggar aturan atau tidak melanggar aturan, dan lain sebagainya. Pertimbangan aspek legalitas formal semata ini sangat merugikan masyarakat karena kasus-kasus yang menimpa masyarakat sesungguhnya adalah buah dari kebijakan pemerintah mengeluarkan izin. Jadi dari segi legalitas formal, jelas pengusaha dan pihak yang memiliki izin dan mendapat legalitas dari pemeritahlah yang benar dan memenangkan perkara/sengketa di pengadilan.

Lalu, apakah cara pikir yang hanya mempertimbangan aspek legalitas formal ini hanya ada pada polisi, jaksa dan hakim saja? Ternyata tidak. Dalam konteks yang lebih luas, banyak sekali pihak yang masih beraliran legalistik ini. Yang melihat suatu tindakan dari sah atau tidak sah berdasar hukum formal/negara. Bahkan ada juga ORNOP di Kalbar ini yang juga mengusung pemikiran tersebut dalam kerja-kerja di masyarakat. Hal ini bisa terlihat dengan istilah pemberantasan Illegal Logging, atau stiker yang bertuliskan: Legal Yes, Illegal No! Organisasi seperti ini tidak menyadari bahwa sesungguhnya cara pikir mereka telah memperkuat argument untuk meng-KRIMINALKAN masyarakat adat. Masyarakat adat yang memanfaatkan hak-hak adatnya atau berjuang mempertahankan hak-hak adatnya atas sumberdaya alam, karena tidak sesuai dengan aturan formal justru dilihat mereka sebagai pelaku tindak kriminal.

Di Kalimantan Barat, buah dari cara pikir kalangan legalis formalistik ini adalah kriminalisasi terhadap masyarakat adat seperti yang terjadi terhadap warga masyarakat di kampung Sungkup kecamatan Menukung Kabupaten Melawi. Masyarakat ditangkap hanya karena membuat ladang yang dianggap bisa merusak wilayah Taman nasional. Di kecamatan Silat Hulu Kabupaten Kapuas Hulu, warga masyarakat yang berjuang mempertahankan dan melestarikan hutan yang terancam rusak dan punah oleh PT. Karya Rekanan Bina Bersama, ditangkap bahkan disiksa oleh aparat kepolisian dengan tuduhan merusak fasilitas umum. Kasus lainnya adalah yang terjadi dengan warga kampung Entebang Desa Tapang semada Kabupaten sekadau, yang di vonis bersalah dengan tuduhan merusak pohon sawit. Padahal tindakan itu dipicu oleh tindakan perusahaan sawit yang mengusur dan menanam sawit di tanah miliknya.

Selain beberapa hal mendasar yang telah dikemukakan diatas, hal-hal umum yang memberatkan masyarakat untuk berperkara di pengadilan adalah waktu yang lama, jarak yang jauh dan biaya yang mahal. Kalau begitu, pengadilan memang bukan tempatnya bagi masyarakat adat untuk mencari keadilan. Pengadilan hanya jalan akhir, setelah upaya lainnya juga tidak bisa dilakukan. Pengadilan seringkali hanya menjadi perangkap bagi masyarakat adat. Di kalimantan barat polisi, jaksa dan hakim adalah tiga pihak yang telah terbukti berjasa memenjarakan masyarakat adat. Oleh karena itu kasus-kasus pelanggaran Hak-hak masyarakat adat akan lebih baik kalau di selesaikan di luar pengadilan.

Alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternatif dispute resolution) saat ini yang umunnya dikenal adalah Negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbiterase. Keempat bentuk penyelesaian sengketa diatas memang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya, namun masih dapat memberikan harapan yang cukup besar karena para pihak bisa menentukan pilihan yang dianggap cocok untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi (Joni Emirzon, jakarta 2001).

Sebagai masyarakat adat, penyelesaian kasus yang paling baik adalah menggunakan hukum adat.

Banyak kisah sukses yang bisa dijadikan patokan sehubungan dengan penggunaan hukum adat dalam penyelesaian kasus pelanggaran hak-hak adat masyarakat. Sebut saja yang dilakukan masyarakat adat Dayak Ut Danum di kampung Mentibar kecamatan Serawai Kabupaten Sintang Kalbar. Mereka menghukum adat PT. BKM karena menebang kayu di hutan adatnya. Kemudian masyarakat adat Dayak Limbai di kampung Bunyau kecamatan Menukung Kabupaten Melawi Kalbar berhasil menghukum adat PT. Maju Karya Kita. Begitu juga yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Limbai di Kampung Pelaik Keruap kecamatan Menukung Kabupaten Melawi Kalimantan Barat. Mereka menghukum adat PT. Sumber Gas Sakti Prima dan Dinas pertambangan Melawi karena melakukan survei tambang batu bara tidak sepengetahuan masyarakat adat setempat. Di tingkat propinsi, kepala dinas kehutanan Kalbar dihukum adat karena menuduh peladang sebagai penyebab asap pada tahun 1997. Bahkan pejabat stingkat menteripun Kemudian kepala BPS kalbar juga dihukum adat karena mempublikasikan data yang salah mengenai data orang Dayak di Kalimantan Barat. Keberhasilan masyarakat diatas mungkin akan beda ceritanya jika kasusnya diselesaikan di pengadilan.
Sehubungan dengan hal diatas, ada ungkapan masyur dari seorang konsultan bisnis terkenal, Welch (1992): “Control your destiny, or someone else will”. Tentukan sendiri nasibmu, atau orang lain akan menentukannya.

 
Masyarakat Advokasi Mandiri - Wordpress Themes is proudly powered by WordPress and themed by Mukkamu Templates Novo Blogger